Usaha Kerupuk Melarat pengentas kemelaratan : Sebuah Ironi


Rabu, 18 Maret 2015 kami berkesempatan untuk mengunjungi Desa Setu Kulon. Desa ini berada di Weru, Kabupaten Cirebon  Tujuan utama kami mengunjungi desa tersebut adalah untuk memotret usaha kerupuk melarat yang dijalankan oleh beberapa warganya. Harapan kami, nantinya kami akan dapat menemukan fakta lapangan yang menarik untuk dikaji lebih dalam, permasalahan untuk ditemukan solusinya, atau ide-ide baru untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di wilayah baru dengan tantangan yang juga baru.

Desa Setu Kulon, adalah salah satu desa yang beberapa warganya menjalankan usaha Kerupuk mlarat. Usaha kerupuk mlarat sudah dijalan secara turun temurun dengan resep yang juga dibagi turun temurun, dari generasi ke generasi. Saat ini tercatat ada sepuluh keluarga yang menjalankan usaha kerupuk melarat di desa tersebut.

20150318_114922

Kerupuk melarat sendiri adalah sejenis kerupuk yang terbuat dari tepung tapioka, air dan garam. Nama “melarat” didapatkan dari proses pembuatan kerupuk, yaitu proses penggorengan yang menggunakan pasir, alih-alih minyak yang biasa digunakan untuk menggoreng.  Pasir yang digunakan adalah pasir yang telah dibersihkan terlebih dahulu. Disamping bahan pembuatnya yang juga sederhana, proses pembuatan kerupuk juga sederhana. Mula-mula, tepung tapioka sebagai bahan utama pembuat kerupuk dicampur dengan air dan garam dan diaduk. Kemudian direbus dalam dandang berukuran ekstra besar, di cetak, dan dijemur.  Jika kerupuk telah kering, dapat digoreng dengan pasir. Meski bahan dan cara pembuatan kerupuk melarat sangat sederhana, permsalahan yang dihadapi para pengusaha kerupuk ternyata sama sekali tidak sederhana. Beberapa temuan kami terdapat beberapa permsalahan yang patut dikritisi oleh pihak-pihak yang berwenang:

1. Harga tepung tapioka yang melonjak tinggi, membuat para pengusaha kerupuk melarat mengencangkan ikat pinggang, rela mengurangi keuntungan demi mendapatkan konsumen. Akibatnya, banyak pegusaha kerupuk melarat yang rugi, beralih profesi dan menutup usahanya.

2. Cara pembuatan kerupuk yang masih sangat tradisional. Meski alat yang digunakan cukup produktif dan usable, tetapi kurang ergonomis. Hal ini akan menimbulkan penyakit akibat kerja yang meski tidak dirasakan saat ini, dapat mengakibatkan kerugian jangka panjang, baik bagi pekerja maupun kelangsungan usaha.

3. Terbatasnya lahan untuk menjemur kerupuk. Keterbatasan lahan ini membuat warga menjemur kerupuk di sembarang tempat, bahkan sampai lapangan bola, hingga kehigienisan menjadi hal yang patut dipertanyakan.

4. Tata letak pabrik yang kurang terpelihara. Pabrik tempat produksi kerupuk sangat terbatas, baik dari segi fasilitas, kebersihan, dan tata letak. Hal ini membuat proses pembuatan kerupuk terhambat, hasilnya pun kurang maksimal.

5. Packaging kerupuk yang seadanya. Ciri khas kerupuk melarat di Cirebon adalah kemasan plastik dengan sedikit merk berupa cap tertentu. Meski merupakan kekhasan, kemasan yang demikian tidak dapat menambah nilai jual. Jika kemasan dapat dibuat lebih menarik, nilai jual akan meningkat. Hal yang perlu dipikirkan adalah bagaimana warga mampu secara finansial membiayai proses packaging yang tidak murah tersebut.

6. Keengganan menggunakan teknologi. Pengusaa kerupuk melarat telah merasa nyaman menggunakan proses produksi dengan peralatan yang ada saat ini. Hal ini membuat mereka kurang berminat menggunakan tekologi baru yang tentu selain membutuhkan biaya lebih, juga membuthkan usaha lebih untuk belajar dan pembiasaan. Penggunaan mesin akan menambah biaaya bahan bakar, baik itu listri maupun yang lain. Hal ini membuat pengusaha kerupuk melarat berpikir ulang saat akan menggunakan mesin untuk mempermudah pekerjaannya.

Diluar permsalahan tersebut, potensi usaha kerupuk melarat sebenarnya sangat besar. Dari hasil browsing berita-berita online (yang meski tingkat kepercayaannya tidak bisa terlalu tinggi) dikatakan bahwa banyak sekali pelanggan yang membeli kerupuk melarat, khususnya pada hari-hari menjelang lebaran, biasanya H-7 menjelang lebaran, dimana permintaan kerupuk melarat bisa naik antara 2 hingga 5 kali lipat. Akibatnya, pedagang kerupuk melarat bahkan seringkali tidak bisa memenuhi permintaa pada hari-hari tersebut. Kenyataan ini mengingatkan saya pada peribahasa umum, bagai tikus mati di lumbung padi. Bagaimana mungkin peluang pasar yang besar tidak bisa memakmurkan pengusaha kerupuk melarat? Bagaimana mungkin, pengusaha merugi ditengah konsumen yang berebut ingin membeli produk usahanya? Pertanyaan ini bukan untuk dijawab, tetapi untuk difikirkan, ditindaklanjuti, dan dipecahkan, oleh semua pihak yang merasa punya andil dan kekuatan. Usaha kerupuk melarat seharusnya memakmurkan, bukan memelaratkan.


Leave a Reply